Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Pemberantasan menurut Mantan Presiden H. Susilo Bambang Yudoyono :
- Pertama, pilihkan pemimpin yang amanah.
Langkah seperti ini memang bersifat moralis dan filosofis. Tidak mengapa. Implementasinya dengan lelang jabatan. Walaupun namanya saya tidak setuju, tetapi hakikatnya boleh juga jika proses itu harus melalui seleksi secara transparan, tanpa gratifikasi. Tanpa sogok sana dan sogok sini, dan yang lebih penting lagi dilaksanakan secara transparan, terutama tentang syarat dan kriteria, serta hasil seleksi tersebut. Persyaratan dan kriterianya harus transparan, dan hasil penilaiannya diumumkan secara terbuka.
Kalau lelang jabatan itu akhirnya juga dengan tujuan untuk memperbesar sogok-menyogok, nah itu yang namanya juga korupsi. Lelang jabatan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Lagi-lagi masyarakat harus ikut mengawasi agar akubtabilitasnya dapat dilaksanakan secara terbuka. Jangan ada main tunjuk tanpa melihat kompetensi. Akhirnya melahirkan balas budi, yang ujung-ujungnya gratifikasi dan korupsi lagi. Kuncinya demokratis, transparan, dan akuntabel.
- Kedua, optimalkan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara).
Mekanisme ini sebenarnya sudah dilaksanakan di negeri ini. PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) belum dapat berjalan cepat, masih “jalan thimik-thimik”. Sebagai contoh, hingga saat ini PPATK masih menunggu pelaporan rekening para caleg, karena masih harus menunggu laporan melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pelaporan ini berdasarkan kesepakatan antara PPATK dan KPU untuk menjaga pemilu bersih dari transaksi-transaksi gelap yang digunakan untuk dana kampanye. Apalagi laporan ini kan memang sifatnya sukarela yang mau melaporkan rekeningnya, baik parpol maupun caleg. Ya kami imbau untuk lapor, masih ditunggu yang mau lapor. Jadi ya menunggu dan menunggu, ujar Wakil Ketua (PPATK) Agus Santoso. Sanksi laporan itu pun hanya berupa sanksi moral, meskipun PPATK akan mengumumkan para caleg yang tidak melaporkan rekeningnya, sampai sang caleg terpilih oleh banyak pemilih yang tidak tahu bahwa caleg pilihannya adalah caleg yang sebenarnya tidak jujur. Ya, sudah telanjur, nasi sudah jadi bubur.
Optimalisasi LHKPN melalui PPATK sangat strategis, dan bersifat preventif. Jika berdasarkan laporan tersebut harta penyelenggara negara sudah melebihi angka normal, maka LHKPN tersebut sudah harus diumumkan dan ditindaklanjuti dari mana uang sebanyak itu. Jangan sampai menunggu pejabat tersebut melakukan korupsi yang lebih besar lagi.
Selain LHKPN terus dilaksanakan untuk pejabat negara, bagi masyarakat umum pun juga harus dilaksanakan dengan sistem pembuktian terbalik. Di negeri jiran Malaysia, sebagai contoh, membeli mobil harus secara kredit. Jika seseorang membeli mobil secara kontan, maka dia akan ditanya tentang asal uang tersebut, jangan-jangan dari uang korupsi atau dari rasuah. Tidak seperti di negeri sendiri, membeli empat puluh mobil sama sekali tidak ditanyakan apa-apa. Perilaku korupsi itu baru diketahui telah pelaku tertangkap dan diketemukan dengan banyak bukti, seperti diketahui ternyata memiliki lima puluh mobil mewah.
- Ketiga, gerakan nasional transparansi.
Ini sebenarnya sama dengan konsep yang diajukan oleh Anis Baswedan. Rektor Universitas Paramadina, sekaligus sebagai calon konvensi Partai Demokrat, mengatakan bahwa masyarakat sekarang ini hampir semuanya memiliki HP. Dengan transparansi nasional, maka semua warga masyarakat dengan bebas untuk dapat melakukan pengawasan dengan menggunakan HP-nya, dan dengan HP-nya masyarakat dapat melaporkan kepada petugas pengawasan, petugas hukum, termasuk KPK. Kita berharap agar gerakan nasional transparansi ini lebih merupakan gerakan budaya yang dilaksanakan dalam jangka panjang. Bukan sehari-dua hari, sebulan-dua bulan selesai. Bahkan dapat melalui proses penyelenggaraan pendidikan, seperti dengan memberikan mata pelajaran atau mata kuliah “pendidikan anti korupsi’ atau “pendidikan moral dan karakter”, “kantin kejujuran”, “tidak menyontek”, dan sebagainya. Sebagai suatu sistem, gerakan nasional ini, tidak akan berjalan secara sendirian, melainkan akan saling pengaruh mempengaruhi, mulai dari keluarga, masyarakat, dan sudah tentu pemerintah, untuk bersama-rama secara sinergis memecahkan masyalah korupsi di negeri ini.
- Keempat, mengumumkan anggaran secara terbuka.
Untuk mendukung gerakan transparansi nasional tersebut, setiap awal tahun anggaran, semua satuan kerja atau pengguna anggaran berkewajiban untuk mengumumkan kepada masyarakat tentang program kegiatannya di media massa, atau dipampang di papan pengumuman di depan kantor. Setiap kementerian, setiap direktorat jenderal, direktorat, gubernur, kabupaten, walikota, dan badan hukum milik negara, dan semua instansi pemerintahan harus mengumumkan anggaran yang akan dilaksanakan oleh instansi yang bersangkutan. Dengan tranparansi ini, masyarakat akan mengatahui uang rakyat tersebut digunakan untuk apa saja, dan dengan cara apa (konraktual ataukah swakelola). Kalau di satuan pendidikan sekolah, dalam rangka Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) kepala sekolah diminta untuk memajang RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah) di papan pengumuman sekolah, mengapa tidak di institusi yang lebih tinggi, seperti kementerian dan institusi lain pengguna anggaran.
Jika pengumuman secara terbuka ini dapat dilaksanakan, maka proses pengang-garan pun akan mudah ditelusuri tentang liku-liku dari sumbernya mulai dari pemerintah, seperti Badan Perencanaan Pembangunan, Kementerian Keuangan, dan pihak wakil-wakil rakyat di DPR. Proses awal perencanaan anggaran ini merupakan proses penting yang harus dilaksanakan, kembali secara demokratis, transparan, dan akuntabel juga.
Jika pengumuman secara terbuka ini dapat dilaksanakan, maka proses pengang-garan pun akan mudah ditelusuri tentang liku-liku dari sumbernya mulai dari pemerintah, seperti Badan Perencanaan Pembangunan, Kementerian Keuangan, dan pihak wakil-wakil rakyat di DPR. Proses awal perencanaan anggaran ini merupakan proses penting yang harus dilaksanakan, kembali secara demokratis, transparan, dan akuntabel juga.
- Kelima, pelibatan komponen masyarakat dalam perencanaan.
Bahkan sebelum RKAKL turun ke kementerian dan institusi jajarannya, anggaran tersebut memang disusun oleh Pemerintah dan DPR atau yang sering kita sebut sebagai Banggar, terkait dengan tahap perencanaan anggaran. Proses penyusunan anggaran harus lebih terbuka lagi. Selain DPR, sebagai wakil yakyat secara formal, perlu dilibatkan wakil rakyat secara informal, misalnya organisasi massa yang ada di tingkat pusat sebagai mitra kementerian, seperti Dewan Pendidikan Nasional (DPN) sebagai mitra Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Demikian juga komponen masyarakat sebagai mitra Kementerian lain. Saya dengar selentingan, cara ini menjadi gagasan Bapak Kuntoro Mangkusubroto saat ini.
Pustaka.
Azhar, Muhammad, 2003, Pendidikan Antikorupsi, Yogyakarta: LP3 UMY, Partnership, Koalisis Antarumat Beragama untuk Antikorupsi.Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, Memahami Untuk Membasmi; Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pope, Jeremy, 2003, Strategi Memberantas Korupsi; Elemen Sistem Integritas Nasional, (terj.) Masri Maris, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Pope, Jeremy, 2003, Strategi Memberantas Korupsi; Elemen Sistem Integritas Nasional, (terj.) Masri Maris, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.