Dalam Pengaturan hukum di Indonesia, korban selalu menjadi pihak yang paling dirugikan, selain korban telah menderita kerugian akibat kejahatan yang menimpa dirinya, baik secara materiil, fisik, maupun psikologis, korban juga harus menanggung derita berganda karena tanpa disadari sering diperlakukan hanya sebagai sarana demi terwujudnya sebuah kepastian hukum, misalnya harus kembali mengemukakan, mengingat bahkan mengulangi (merekontruksi) kejahatan yang pernah menimpanya pada saat sedang menjalani proses pemeriksaan, baik ditingkat penyidikan maupun setelah kasusnya diperiksa di pengadilan.
Keberpihakan hukum terhadap korban yang terkesan timpang jika dibandingkan dengan tersangka (terdakwa), terlihat dari adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang lebih banyak memberikan hak istimewa kepada tersangka (terdakwa) dibandingkan kepada korban.
Keberpihakan hukum terhadap korban yang terkesan timpang jika dibandingkan dengan tersangka (terdakwa), terlihat dari adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang lebih banyak memberikan hak istimewa kepada tersangka (terdakwa) dibandingkan kepada korban.
Sebagai contoh, yang dikemukankan oleh Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, pada kasus Teungku Bantaqiah di Aceh yang menjadi korban kekerasan dari oknum aparat keamanan pada saat pemberlakuan Daerah operasi Militer (DOM) beberapa waktu yang lalu keluarga Teungku Bantaqiah meminta kepada pengadilan koneksitas untuk tidak melanjutkan persidangan karena saksi (korban) sering menerima ancaman terror, setiap akan memberikan keterangan di pengadilan. Bahkan pernah terjadi seseorang yang tidak dikenal melemparkan granat kehalaman rumahnya yang mencederai 17 orang, pada hari ketiga persidangan. Akibat munculnya berbagai ancaman (terror) yang ditujukan kepada keluarga Bantaqiah, tidak berlebihan apabila muncul keinginan untuk menghentikan proses persidangan.
Dari hal tersebut diatas Arief Gosita mengatakan korban tindak pidana kejahatan tidak dapat dilepaskan dari permasalahan yang menyangkut hak-hak asasi manusia.. Hal ini tercermin dari konsepsi korban tindak pidana kejahatan, korban tindak pidana kejahatan adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi manusia.
Selanjutnya Muladi mengatakan korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan subtansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dikatakan bahwa korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkungan keluarga
Di dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan saksi dan korban dikatakan bahwa korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Kemudian menurut Z.P. Separovic yang dikutip oleh Didi M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom dikatakan
Korban (victim) adalah “……the person who are threatened, injured or destroyed by an actor or omission of another 9mean, structure, organization, or institusion) and consequently; a victim would be anyone who has suffered from or been threatened by a punishable act (not only criminal act but also other punishable acts as misdemeanors, economic offences,non fulfillment of work duties) or an accidents, suffering may be caused by another man or anotherstructure, where people are also involved.
Sedangkan menurut Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principles of justice for victim of crime and Abuse of Power 1985 dikatakan Korban (victims) means person who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omission of criminal laws operative within Member states, including those laws proscribing criminal abuse of power ‘.. through acts or omissions that do not yet constitute violations of national criminal laws but of internationally recognized norms relating to human rights.
Munculnya kecenderungan perhatian terhadap studi tentang korban terdapat beberapa alasan, yaitu sebagaimana yang pernah ditulis oleh Mardjono Reksodiputro, bahwa ada dua arus yang perlu diketahui sehubungan dengan perhatian para ilmuwan terhadap viktimologi yaitu :
Dari hal tersebut diatas Arief Gosita mengatakan korban tindak pidana kejahatan tidak dapat dilepaskan dari permasalahan yang menyangkut hak-hak asasi manusia.. Hal ini tercermin dari konsepsi korban tindak pidana kejahatan, korban tindak pidana kejahatan adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi manusia.
Selanjutnya Muladi mengatakan korban (victims) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan subtansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.
Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dikatakan bahwa korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkungan keluarga
Di dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, tentang Perlindungan saksi dan korban dikatakan bahwa korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Kemudian menurut Z.P. Separovic yang dikutip oleh Didi M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom dikatakan
Korban (victim) adalah “……the person who are threatened, injured or destroyed by an actor or omission of another 9mean, structure, organization, or institusion) and consequently; a victim would be anyone who has suffered from or been threatened by a punishable act (not only criminal act but also other punishable acts as misdemeanors, economic offences,non fulfillment of work duties) or an accidents, suffering may be caused by another man or anotherstructure, where people are also involved.
Sedangkan menurut Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principles of justice for victim of crime and Abuse of Power 1985 dikatakan Korban (victims) means person who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic loss or substantial impairment of their fundamental rights, through acts or omission of criminal laws operative within Member states, including those laws proscribing criminal abuse of power ‘.. through acts or omissions that do not yet constitute violations of national criminal laws but of internationally recognized norms relating to human rights.
Munculnya kecenderungan perhatian terhadap studi tentang korban terdapat beberapa alasan, yaitu sebagaimana yang pernah ditulis oleh Mardjono Reksodiputro, bahwa ada dua arus yang perlu diketahui sehubungan dengan perhatian para ilmuwan terhadap viktimologi yaitu :
- Adanya pikiran bahwa Negara turut bersalah dalam terjadinya korban, karena itu sewajarnyalah Negara memberikan kompensasi kepada korban
- Adanya aliran pemikiran baru dalam kriminologi yang meninggalkan pendekatan positivis, dan lebih memperhatikan proses-proses yang terjadi dalam sistem peradilan pidana dan struktur masyarakatnya (critical criminology), pandangan kriminologi kritis ini banyak mempengaruhi pemikiran dalam viktimologi.
Dengan mengacu pada pengertian-pengertian korban di atas, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/penderitaan bagi diri/kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang-orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaan atau untuk mencegah viktimisasi.
Mengenai kerugian korban, Saparovic mengatakan bahwa kerugian korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi korban kejahatan, tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan. Walaupun yang disebut terakhir lebih banyak merupakan persoalan perdata, pihak yang dirugikan tetap saja termasuk dalam kategori korban karena ia mangalami kerugian baik secara meteriil maupun secara mental
Dari Uraian tentang korban tindak pidana kejahatan tersebut diatas , maka dapat dilakukan penentuan siapa yang dinamakan korban tindak pidana kejahatan antara lain:
1. korban langsung (Direct victim) yaitu korban yang langsung mengalami dan merasakan penderitaan dengan adanya tindak pidana kejahatan. Dimana korban langsung ini mempunyai karakteristik antara lain :
Mengenai kerugian korban, Saparovic mengatakan bahwa kerugian korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi korban kejahatan, tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan. Walaupun yang disebut terakhir lebih banyak merupakan persoalan perdata, pihak yang dirugikan tetap saja termasuk dalam kategori korban karena ia mangalami kerugian baik secara meteriil maupun secara mental
Dari Uraian tentang korban tindak pidana kejahatan tersebut diatas , maka dapat dilakukan penentuan siapa yang dinamakan korban tindak pidana kejahatan antara lain:
1. korban langsung (Direct victim) yaitu korban yang langsung mengalami dan merasakan penderitaan dengan adanya tindak pidana kejahatan. Dimana korban langsung ini mempunyai karakteristik antara lain :
- a. korban adalah orang, baik secara individu atau secara kolektif
- b. menderita kerugian (menurut Arief Gosita” menderita jasmaniah dan rohaniah) termasuk luka-luka fisik; luka-luka ringan; kehilangan pendapatan; penindasan terhadap hak-hak dasar manusia
- c. disebabkan oleh adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan dalam hukum pidana
- d. atau disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan
2. korban tidak langsung (indirect victims) yaitu timbulnya korban akibat dari turut campurnya seseorang dalam membantu korban langsung atau turut melakukan pencegahan timbulnya korban atau mereka yang menggantungkan hidupnya kepada korban langsung, seperti istri/suami, anak dan keluarga terdekat.
Pada kasus-kasus tertentu, seperti pencemaran lingkungan hidup, perzinahan, perjudian, pornografi, prostitusi dan narkoba, sering kali korban tidak langsung dinyatakan sebagai bukan korban tindak pidana kejahatan atau dengan kata lain tindak pidana kejahatan tersebut merupakan tindak pidana yang tidak menimbulkan korban
Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut :
Pada kasus-kasus tertentu, seperti pencemaran lingkungan hidup, perzinahan, perjudian, pornografi, prostitusi dan narkoba, sering kali korban tidak langsung dinyatakan sebagai bukan korban tindak pidana kejahatan atau dengan kata lain tindak pidana kejahatan tersebut merupakan tindak pidana yang tidak menimbulkan korban
Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut :
- nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan
- latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban
- procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan
- participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban
- False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.
Tipologi korban sebagaimana dikemukakan diatas, memiliki kemiripan dengan tipologi korban yang diindentifikasikan menurut keadaan dan status korban, yaitu sebagai berikut :39).
- unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini tanggungjawab sepenuhnya terletak pada pelaku
- provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku
- participating victims, yaitu seorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban
- biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban
- socially weak victims, yaitu mereka yang mempunyai kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban
- self victimizing victim, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban narkoba, judi, aborsi, prostitusi.
Kemudian Sellin dan Wolfgang sebagaimana dikutip Suryono Ekotama dkk, mengelompokkan korban sebagai berikut.
- primary victimization, yaitu korban berupa individu atau perorangan
- secondary victimization, yaitu korban kelompok, misalnya badan hukum
- Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas
- No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produksi masyarakat
Dengan demikian korban tindak pidana kejahatan adalah sebagai manusia yang menderita dan mempunyai hak-hak asasi yang perlu dilindungi oleh ketentuan-ketentuan dasar yang bersifat nasional dan internasional.
Pustaka.
Suryono Ekotama, St. Harun Pudjianto dan G. Wiratama, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Victimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, (Jakarta:, Universitas Atma Jaya: 2001).
Chaerudin dan Syarif Fadilah, Korban Kejahatan Dalam Perspektif viktimologi Dan Hukum Pidana Islam, Cetakan Pertama (Jakarta: Ghalia Press; 2004),
Mardjono Reksodiputro, Beberapa Catatan Umum tentang Masalah Korban, Dalam J.E. Sahetapy, Viktimologi sebuah Bunga Rampai , (Jakarta: Pustaka Sinar harapan; 1987),
Muladi, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Refika Aditama; 2005),
Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, antara norma dan realita, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada; 2007),
Pustaka.
Suryono Ekotama, St. Harun Pudjianto dan G. Wiratama, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Perspektif Victimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, (Jakarta:, Universitas Atma Jaya: 2001).
Chaerudin dan Syarif Fadilah, Korban Kejahatan Dalam Perspektif viktimologi Dan Hukum Pidana Islam, Cetakan Pertama (Jakarta: Ghalia Press; 2004),
Mardjono Reksodiputro, Beberapa Catatan Umum tentang Masalah Korban, Dalam J.E. Sahetapy, Viktimologi sebuah Bunga Rampai , (Jakarta: Pustaka Sinar harapan; 1987),
Muladi, Hak Asasi Manusia : Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Refika Aditama; 2005),
Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, antara norma dan realita, (Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada; 2007),