Hukum-hukum umum yang menyangkut tentang murabahah dan murabahah kepada pemesan pembelian meliputi (AAO-IFI, 1998, 143-144) :
1. Jaminan
Kreditur (pembeli) dapat meminta debitur (pemesan pembelian) untuk menyediakan sebuah jaminan. Dalam hal ini debitur harus menyerahkan sebuah jaminan yang bisa diterima. Barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran hutang.
1. Jaminan
Kreditur (pembeli) dapat meminta debitur (pemesan pembelian) untuk menyediakan sebuah jaminan. Dalam hal ini debitur harus menyerahkan sebuah jaminan yang bisa diterima. Barang-barang yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan yang bisa diterima untuk pembayaran hutang.
2. Hutang dalam murabahah kepada pemesan pembelian.
Menurut hukum syariah, penyelesaian hutang dalam murabahah kepada pemesan pembelian tidak boleh dikaitkan kepada sifat barang yang dijual, apakah hasil penjualan itu positif atau negatif. Ini karena ketika penjualan sempurna, pemilikan berpindah kepada pemesan dan pembeli pertama memegang pemilikan piutang. Karenanya jika pemesan menjual aset itu segera atau pada suatu waktu sebelum hutangnya kepada pembeli jatuh tempo bahkan jika untuk harga berganda, ia tidak diwajibkan menyelesaikan hutangnya kecuali aset itu sendiri diletakkan pada colateral untuk hutang ini, juga kerugian nilai dari aset tidak menjustifikasi kelambatan dalam penyelesaian hutang yang jatuh tempo itu.
Menurut hukum syariah, penyelesaian hutang dalam murabahah kepada pemesan pembelian tidak boleh dikaitkan kepada sifat barang yang dijual, apakah hasil penjualan itu positif atau negatif. Ini karena ketika penjualan sempurna, pemilikan berpindah kepada pemesan dan pembeli pertama memegang pemilikan piutang. Karenanya jika pemesan menjual aset itu segera atau pada suatu waktu sebelum hutangnya kepada pembeli jatuh tempo bahkan jika untuk harga berganda, ia tidak diwajibkan menyelesaikan hutangnya kecuali aset itu sendiri diletakkan pada colateral untuk hutang ini, juga kerugian nilai dari aset tidak menjustifikasi kelambatan dalam penyelesaian hutang yang jatuh tempo itu.
3. Penundaan oleh debitur yang mampu.
Seorang yang mampu dilarang menunda penyelesaian hutangnya. Tetapi jika seorang pemesan menundanya pembeli dapat mengambil tindakan berikut :
a. Mengambil prosedur kriminal yang diperlukan terhadap pemesan yang membuat cek palsu atau pemegang jaminan untuk jumlah hutang itu, jika pembuatan instrumen yang tidak syah dilarang oleh hukum.
b. Mengambil prosedur perdata untuk mendapatkan kembali hutang itu dan mengklaim kerusakan finasial aktual karena penundaan.
c. Mengambil prosedur perdata untuk memperbaiki kerusakan karena kerugian kesempatan akibat penundaan. Ini adalah pandangan beberapa ahli hukum modern.
Seorang yang mampu dilarang menunda penyelesaian hutangnya. Tetapi jika seorang pemesan menundanya pembeli dapat mengambil tindakan berikut :
a. Mengambil prosedur kriminal yang diperlukan terhadap pemesan yang membuat cek palsu atau pemegang jaminan untuk jumlah hutang itu, jika pembuatan instrumen yang tidak syah dilarang oleh hukum.
b. Mengambil prosedur perdata untuk mendapatkan kembali hutang itu dan mengklaim kerusakan finasial aktual karena penundaan.
c. Mengambil prosedur perdata untuk memperbaiki kerusakan karena kerugian kesempatan akibat penundaan. Ini adalah pandangan beberapa ahli hukum modern.
4. Bangkrut.
Jika pemesan yang berhutang dianggap pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, kreditur harus menunda tagihan hutang sampai ia menjadi sanggup kembali.
Jika pemesan yang berhutang dianggap pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, kreditur harus menunda tagihan hutang sampai ia menjadi sanggup kembali.
5. Hukum perwakilan yang diberikan oleh yang dipesan kepada pemesan pembelian, dan menjual untuk pemesan sendiri. Sesuai dengan syarat sahnya jual-beli murabahah kepada pemesan pembelian, dan untuk mencegah riba, pembeli tidak boleh mengijinkan pemesan untuk membeli aset yang diperlukan mewakilinya dan kemudian menjualnya kepadanya.
6. Dampak potongan harga pada murabahah.
Beberapa ulama syariah memandang bahwa pembeli (pemesan) harus mendapat manfaat dari potongan yang penjual dapatkan sebagai pembeli. Jumlah ini mengurangi keuntungan murabahah sampai porsi yang sama dengan potongan tersebut bahkan meskipun penjual (sebagai pembeli) mendapat potongan sesudah jual-beli murabahah sempurna. Hal ini disebabkan bolehnya mendapat potongan pada harga pembelian dan memasukkannya sebagai harga penjualan. Tetapi beberapa ulama syariah berpandangan bahwa pembeli harus mendapat manfaat dari potongan hanya jika penjual mendapatkannya sebelum murabahah jadi sempurna, atau pada saat membuat janji. Jika tidak potongan itu harus menjadi milik penjual.
Beberapa ulama syariah memandang bahwa pembeli (pemesan) harus mendapat manfaat dari potongan yang penjual dapatkan sebagai pembeli. Jumlah ini mengurangi keuntungan murabahah sampai porsi yang sama dengan potongan tersebut bahkan meskipun penjual (sebagai pembeli) mendapat potongan sesudah jual-beli murabahah sempurna. Hal ini disebabkan bolehnya mendapat potongan pada harga pembelian dan memasukkannya sebagai harga penjualan. Tetapi beberapa ulama syariah berpandangan bahwa pembeli harus mendapat manfaat dari potongan hanya jika penjual mendapatkannya sebelum murabahah jadi sempurna, atau pada saat membuat janji. Jika tidak potongan itu harus menjadi milik penjual.